Thrifting: Solusi Ramah Lingkungan atau Gelombang Baru Fast Fashion?
Thrifting: Solusi Ramah Lingkungan atau Gelombang Baru Fast Fashion?
Suasana lapak pakaian bekas di Pasar Gembong Asih, Surabaya, Minggu (18/5/24) 08.53 WIB (sumber gambar: SuaraBaya/Alvina)
SuaraBaya – Jalan Gembong diwarnai barang-barang tua dan tawar-menawar tiap harinya. Memasuki akhir pekan, ikon loakan Kota Surabaya ini menjadi surga bagi pecinta thrifting. Celana vintage, hoodie bermerek, kardigan rare item, sampai jaket limited edition jadi target incaran.
Thrifting digemari konsumen karena menawarkan barang yang ramah kantong dan relatif beragam. Diya, pembeli sekaligus reseller pakaian thrifting, mengungkapkan, “Banyak variasinya, harganya juga lebih murah.”
Mulanya, membeli pakaian bekas digaungkan untuk melawan fast fashion (dikenal dengan produksi massal sehingga memperkaya limbah tekstil). Namun, thrifting dengan popularitasnya—terlebih hasil impor—kini menimbulkan pertanyaan baru: benar-benar ramah lingkungan atau malah jadi fast fashion kedua?
Pasalnya, tidak semua barang kulakan layak dijual karena sistem pengadaan fesyen impor bekas berupa bal-balan (pengemasan yang dipadatkan dalam karung), sehingga tidak ada jaminan kualitas. “Kayak resletingnya rusak, ada yang sobek, tergantung nasib kita,” ujar pemilik usaha thrifting yang berjualan di Jalan Gembong sejak 2005, “kalau ga muat di sini, ya langsung dibuang, Kak,” imbuhnya.
Pakaian yang gagal tampil pada display rata-rata akan berakhir menjadi sampah. Jumlah pakaian impor tak layak pakai bisa mencapai 60 hingga 70 persen sebagaimana disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja (CNBC Indonesia, 2023).
Dari sisi pembeli, seperti Tofik, dirinya mengaku sering berbelanja produk thrifting karena murah. Sementara itu, Nata—pecinta thrifting—kerap ber-thrifting ria karena spontanitas atau lapar mata. Sayangnya, kebiasaan impulsif ini menyerupai pergerakan fast fashion yang memunculkan pola konsumsi berlebihan, sehingga berisiko meningkatkan limbah tekstil.
Sampah tekstil di Indonesia berpotensi terus meningkat dari angka 2,3 juta ton berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2023. Limbah tekstil yang dapat diolah kembali hanya berkisar 12 persen sesuai informasi Bank Sampah Induk Surabaya dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS).
Peredaran pakaian bekas impor masih marak. Padahal, sudah terdapat larangan dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 40/2022. Hal ini berkemungkinan terjadi akibat masalah pengawasan, tingginya permintaan, serta ketidaktersediaan alternatif. Tak ayal, keseluruhannya berisiko mengancam mata pencaharian pengusaha thrifting. Namun, pemerintah dapat menjaring barang tak layak yang berakar dari importir, mengoptimalkan fasilitas daur ulang tekstil, serta mengurangi ketergantungan masyarakat pada “sampah” impor.
Pelaku usaha dapat mendaur ulang stok tak terjual hingga mempromosikan pembelian bertanggung jawab. Sementara konsumen perlu lebih bijak memilih pakaian bekas. Membeli sesuai kebutuhan, memilih produk yang cenderung tahan lama, hingga mendukung usaha-usaha lokal yang mengolah kembali limbah fesyen dapat menjadi langkah kecil untuk mengurangi sampah pakaian.
Seluruh elemen dapat bersinergi dalam mengurangi limbah pakaian. Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan, seperti upcycling yang dilakukan Wiralagabae, recycle artistan yang mendaur ulang fesyen bekas menjadi tas premium, sewa busana, dan bertukar pakaian. Ini sama seperti program yang dicanangkan komunitas Lyfe With Less bertajuk “Bersalingsilang”, acara bertukar barang bekas layak pakai yang sempat digelar di Surabaya.
Thrifting memang berpotensi menjadi solusi ramah lingkungan, tetapi tanpa pengelolaan yang memadai, justru menambah sumber limbah baru. Melalui pengaturan yang lebih terstruktur, upaya daur ulang kreatif, serta konsumsi yang bijak, thrifting dapat kembali ke tujuan awal: meminimalkan limbah tanpa kehilangan gaya dan nilai ekonomis. Mari tetap trendi sambil berbaik hati terhadap bumi!
Hurun'in Kamila
Muhimatul Khoriyah