Polemik Ekowisata Kota: Meninjau Tantangan dan Solusi Keberlanjutan
Polemik Ekowisata Kota: Meninjau Tantangan dan Solusi Keberlanjutan
Sumber: Mangrovemagz.com/ Ganis Riyan Efendi
SuaraBaya—Ekowisata menekankan pada prinsip keberlanjutan jangka panjang. Ini berlaku sebab ekowisata diakui sebagai pendekatan yang begitu menjanjikan guna memadukan konservasi lingkungan dengan pembangunan ekonomi lokal. Konsep yang mulanya berakar pada pelestarian alamnya yang masih murni, ekowisata kemudian mengalami evolusi sehingga memunculkan bentuk baru yang dikenal sebagai ekowisata kota.
Urgensi Ekowisata Kota
Ekowisata kota menawarkan kemudahan aksesibilitas oleh pengunjung, inovasi yang sangat patut menjadi fokus utama dalam upaya penanganan isu lingkungan. Ekowisata kota tidak hanya membicarakan tentang melindungi sisa-sisa alam liar, namun juga pada upaya restorasi, penciptaan, dan pengelolaan ekosistem di tengah lingkungan yang didominasi oleh aktivitas manusia. Kota juga memiliki potensi alam serta budaya yang dapat dikelola secara berkelanjutan, meskipun dalam bentuk yang berbeda dari kealamian yang masih alami.
Ekowisata Kota Surabaya
Surabaya menjadi salah satu kota dengan fokus pemeliharaan alam yang kemudian melakukan inovasi dengan pembangunan ekowisata. Nampaknya inovasi ini menjadi awal mula polemik meresahkan yang patut menjadi pusat perhatian pemerintah dalam pengelolaannya. Pemerintah memulai proyek ini melalui Kawasan Wisata Mangrove. Proyek ekowisata tersebut mulanya dicanangkan agar kawasan mendapat pusat perhatian oleh masyarakat umum yang nantinya dapat secara aktif berkontribusi pada peningkatan ekonomi masyarakat dan mendukung pelestarian lingkungan.
Namun, faktanya ekowisata Surabaya tersebut justru menimbulkan dampak negatif yang begitu kentara. Konsep hubungan timbal balik antara manusia dengan alam justru tidak berimbang. Manusia selaku subjek dalam mengelola lingkungan menjadi alasan paling berdampak dari adanya polemik ekowisata kota.
Masalah pencemaran sampah menjadi sangat krusial. Sampah plastik yang berasal dari aktivitas pengunjung, pemukiman warga sekitar, hingga pada kiriman dari sungai berdampak pada menurunnya nilai estetika kawasan ekowisata. Sampah plastik yang menumpuk di sekitar akar-akar pohon mangrove menjadi penyebab utama dari tercemarnya ekosistem dan berakhir mengancam kerusakan lingkungan hingga penurunan kualitas air. Selanjutnya menimbulkan pertanyaan, hal inikah yang dinamakan pembangunan ekowisata kota?
Pengikisan tanah lama kelamaan akan terjadi bila proses pemeliharaan ekowisata dilakukan dengan tidak tepat. Hutan mangrove sebagai habitat dari berbagai biota laut turut terdampak lantaran pengikisan tanah yang berasal dari aliran air pada daratan maupun ombak laut. Akibatnya, ekosistem yang berada pada seluruh wilayah akan terganggu, baik dalam area daratan ekowisata maupun area berair. Ekowisata kota dengan karakteristik wilayah berair umumnya memiliki kategori dalam mengupayakan adanya perlindungan wilayah daratan sebagai fungsi ekologis. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi kikisan oleh gelombang air laut, adanya bencana terhadap pemukiman akibat angin laut, badai, dan persoalan lainnya mengenai ekosistem di wilayah ekowisata.
Adanya kondisi tersebut maka dibutuhkan upaya pengelolaan limbah yang memadai, yakni dengan pemisahan antara limbah organik dan non-organik serta memperbanyak lokasi-lokasi pembuangan sampah. Minimnya program daur ulang di area wisata turut menjadi faktor yang harus segera mendapat jalan keluar.
Industrialisasi Ekowisata
Di sisi lain, proses pembangunan ekowisata dalam perkotaan tidak luput dari pembentukan industrialisasi. Perkembangan teknologi hingga pesatnya kemajuan industri menjadi alasan utama mengapa ekowisata kota justru cenderung mengarah pada industrialisasi. Ekowisata yang difungsikan untuk konservasi lingkungan dan pemberdayaan masyarakat lokal, malah bergeser pada orientasi bisnis dan komersialisasi yang lebih masif. Fokus ekowisata dalam pelestarian alam dan budaya lokal menjadi terabaikan sebab condongnya industrialisasi pada konsep pembangunan ekowisata kota.
Adanya pembangunan ekowisata di kota juga dapat menyebabkan perubahan fisik terhadap komponen hayati maupun komponen non-hayati. Segala bentuk perubahan tersebut tampak pada perubahan kualitas, seperti sumber daya air, fisiografi, daya dukung lingkungan, kawasan permukiman, limbah beracun, hingga pada keindahan alam itu sendiri.
Upaya untuk menciptakan ruang “hijau” di perkotaan dapat dilakukan. Namun, apabila tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan masalah lingkungan, apa masih pantas bergelar “eko”?
Nimaswati F
Muhimatul Khoiriyah