Esensi Ekowisata Kota: Sebuah Upaya atau Petaka?
Esensi Ekowisata Kota: Sebuah Upaya atau Petaka?
Sumber: Antaranews.com/ Didik Suhartono
SuaraBaya––Pembangunan ekowisata termasuk fokus pemerintah Kota Surabaya dalam mengatasi berbagai masalah isu lingkungan. Dipandang sebagai salah satu cara yang inovatif, fakta mengenai orientasi ekowisata nyatanya terletak dari bagaimana wisatawan tertarik mengunjungi suatu daerah dengan tujuan untuk menikmati dan mempelajari alam. Lalu, apakah diskursus ini kemudian dapat berjalan dua arah secara bersamaan?
Diketahui bahwa ekowisata pada dasarnya wajib memiliki pengelolaan yang berintegritas. Namun, faktanya justru modernitas memperlihatkan refleksivitas masyarakat lokal dalam menghadapi adanya pembangunan ekowisata yang beresiko. Hal paling tampak adalah pembangunan kawasan mangrove di Surabaya. Dibangun sebagai salah satu ekowisata paling berdampak terhadap kebermanfaatan lingkungan, bisa saja mengalami persoalan oleh faktor alam, ekonomi, serta faktor kebijakan dalam lingkup ekowisata kota itu sendiri.
Pembangunan yang dilakukan dengan pertimbangan resiko di setiap ekowisata, harus memperhatikan lebih lanjut esensi dari implementasi. Pasalnya, ekowisata harus dipandang dan diimplementasikan sebagai suatu hal yang datang dari alam untuk alam. Ketika pembangunan didasari atas konsep tersebut, hal yang harus digarisbawahi adalah adanya perhatian khusus terhadap pola wisata yang ramah lingkungan. Pembangunan berkewajiban untuk tidak menimbulkan budaya pembangunan atas dasar tidak adanya penanggulangan.
Pembangunan ekowisata kota yang dilakukan nyatanya dinilai memeroleh pengaruh dari modernisasi yang kemudian membentuk industrialisasi. Satu diskurus yang timbul ini kemudian dapatkah dikategorikan bahwa ekowisata kota yang dibangun berlandaskan dari alam untuk alam? Ditariknya aspek industrialisasi pada ekowisata kota sebagai upaya penyelesaian isu lingkungan nampaknya terasa janggal, aspek yang berbanding terbalik ini dapat membentuk kebaruan polemik dari penetapan urgensi pembangunan. Akibatnya, esensi kembali dipertanyakan.
Ekowisata mangrove, misalnya, dicurigai turut memberikan dampak negatif berupa kerusakan bumi, baik dari pencemaran udara, tanah, juga pencemaran lingkungan itu sendiri. Berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 mengenai penataan ruang, status peruntukan hutan mangrove menurut fungsi utamanya adalah Kawasan Lindung. Namun, nyatanya apa yang berusaha dilindungi di sini masih sering diabaikan. Banyak masyarakat yang cenderung mengabaikan keselarasan hutan mangrove hingga mengakibatkan sejumlah dampak potensial yang mempengaruhi keseimbangan alam.
Mengedepankan kealamian alam yang juga mendukung konservasi dan minim dampak negatif merupakan konsep wisata yang menjadi pilar objek sebuah ekowisata. Kealamian yang konon akan dijaga justru berbanding terbalik dengan persoalan industrialisasi. Namun, bagaimana jika pilar ini ditarik dalam diskursus ekowisata kota di Surabaya?
Berdasarkan panduan dasar pelaksanaan ekowisata UNESCO, terdapat lima pilar yang perlu diketahui dalam menjamin pelestarian alam oleh pelaku wisata yang meliputi: pengalaman edukasi yang diberikan oleh ekowisata sebagai upaya meningkatkan pemahaman, ekowisata mampu meminimalisasi dampak negatif yang merusak bumi, kegiatan ekowisata yang mampu memberikan peran aktif terhadap masyarakat, kegiatan ekowisata bersifat menguntungkan bagi masyarakat lokal, serta adanya ekowisata yang bertahan dan memiliki kelanjutan. Jika dilihat dari esensi ekowisata kota yang berbanding terbalik di lapangan, apakah memungkinkan jika ekowisata kota mempunyai sesuatu hal untuk dapat berkelanjutan? Nyatanya, esensi ekowisata dari alam untuk alam kembali dipertanyakan karena tindakan-tindakan yang tidak menciptakan sebuah kesuksesan dalam tujuan pembangunan.
Pada aspek pengelolaannya sendiri, ekowisata bisa dikatakan sebagai penyelenggaraan aktivitas wisata yang bertanggung jawab pada wilayah alami yang sifatnya dibuat bersumber dari kaidah alam. Adanya pengelolaan dalam ekowisata kota diharapkan dapat melestarikan fungsi lingkungan hidup yang ada pada suatu wilayah, baik mengenai pengembangan, kebijaksanaan, dan pemeliharaan. Ekowisata seharusnya meminimalisasi kerusakan-kerusakan, gagasan ekowisata ini sebenarnya akan menjadi sebuah inovasi baru ketika praktek malas tahu juga turut diminimalisasi.
Sehubungan dengan hal itu, ekowisata akan berkembang sebagai respon adanya peningkatan isu lingkungan. Dalam melakukan pembangunan ekowisata kota, fasilitas sebagai pendukung aktivitas harus diarahkan sebagai adanya upaya meminimalisasi bentuk degradasi fisik maupun visual alam. Adanya persoalan yang mengarah pada tindakan merusak bumi, seperti pencemaran udara, tanah, air, timbunan limbah, maupun “polusi” sosial harus diperhatikan untuk diberikan sebuah mitigasi. Ketika seluruh polusi menjadi satu, maka akan terjadi kerusakan alam yang berdampak pada segala aspek kehidupan, baik mengenai alam maupun kebiasaan bermasyarakat.
Ketika suatu tindakan masyarakat, baik lokal maupun pengunjung yang ada di ekowisata kota mengarah pada rusaknya bumi secara berkala, kemungkinan tindakan tersebut juga akan menjadi sebuah kebiasaan yang berakhir dengan terbentuknya budaya negatif karena sifatnya diterima oleh masyarakat dan cenderung terjadi suatu siklus di dalamnya.
Lantas ketika melihat fenomena yang akhir ini dilakukan di tempat ekowisata, yaitu kegiatan yang secara langsung merusak bumi, benarkah konservasi lingkungan itu berjalan? Sadarkah masyarakat akan fenomena tersebut? Manusia selaku subjek dalam mengelola lingkungan harus lebih tanggap dalam mengembangkan dan menjaga lingkungan ekowisata kota tetap pada fungsinya. Hal ini bisa dilakukan melalui peran sebagai objek yang mendatangkan manfaat, bukan justru merusak lingkungan alam itu sendiri. Maka, jika terjadi sebuah keseimbangan dalam masyarakat dan alam, esensi ekowisata kota tak akan lagi menjadikan sebuah petaka karena diskursus yang tersiklus.
Meta Ayu
Muhimatul Khoiriyah