Dilema Thrifting Impor: Gaya Hidup Pop vs Sandang Lokal
Dilema Thrifting Impor: Gaya Hidup Pop vs Sandang Lokal
ilustrasi konsumsi pakaian thrifting impor (istockphoto.com/RyanJLane)
SuaraBaya – Thrifting atau pembelian barang bekas telah menjadi gaya hidup di kota-kota besar, termasuk Surabaya. Aktivitas konsumsi yang dinilai ramah kantong ini semakin populer di tengah kondisi perekonomian yang tidak menentu.
Pakaian bekas impor menggugah selera konsumen karena dinilai berkualitas dan harganya terjangkau, seperti yang dikatakan Tofik (24), “Murah. Bahan kalo nyaman, thrifting atau baru kan sama aja,” ujarnya.
Diya (20) menyampaikan alasan senada, “Lebih murah, kadang dapet yang branded branded.”
Tidak hanya menggiurkan pembeli, thrifting juga menawarkan peluang usaha, seperti yang dinyatakan eks penjual seragam di Jalan Gembong yang beralih ke pakaian bekas impor karena profitnya lebih besar.
“Lebih ke thrift, Mbak,” ungkap pria yang memilih untuk tidak memberitahukan namanya itu, sebut saja Adi (samaran), saat ditemui tim liputan, Minggu (18/5).
Sayangnya, ada sisi lain yang perlu disorot. Timbul kekhawatiran terhadap penurunan tenaga kerja produk lokal. Kondisi ini dapat tergambar melalui alasan Adi yang mengindikasikan lemahnya daya saing produk sandang dalam negeri sehingga terpaksa bergeser ke thrifting impor.
“Karena, gak ada lagi yang dijual. Gimana?” keluh Adi.
Cerita Adi soal dinamika berjualan thrifting impor seolah-olah menunjukkan dua garis yang berpotongan: potensi peluang usaha dan ancaman produk lokal. Kondisi ini menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Sebagian menilai bahwa kedua sektor tersebut memiliki pasarnya masing-masing, sedangkan sebagian lain mengamini bahwa maraknya thrifting impor dapat melemahkan industri produk tekstil domestik.
Dilansir dari Kompas.com (2023), desainer fesyen, Riri Rengganis, mengatakan bahwa pengganggu utama industri tekstil dalam negeri bukan pakaian bekas impor, melainkan pakaian jadi impor. Di lain sisi, mengutip artikel Journal of Innovation and Creativity (2025) berdasarkan perspektif industri tekstil nasional, impor pakaian bekas dapat menurunkan produktivitas hingga tenaga kerja sektor manufaktur tekstil lokal akibat persaingan harga yang ketat.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) melaporkan bahwa produksi tekstil dalam negeri pada 2023 menurun sebesar 15 persen akibat peningkatan pakaian bekas impor. Penjualan thrifting dari luar negeri pun masih marak di tengah pelarangan impor pakaian bekas yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 40 Tahun 2022. Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan capaian nilai impor bekas ilegal sekitar 5 triliun rupiah pertahun yang berdampak signifikan terhadap industri lokal (Nazhiifah et al., 2025: 429).
Jika ditarik benang merah tentang anggapan thrifting impor mengancam produk domestik, ketimpangan harga menjadi permasalahan pokok. Produk impor tidak hanya thrifting, mematok harga murah karena production cost yang lebih rendah, seperti yang dikatakan Riri.
Besarnya biaya produksi dan rendahnya daya saing dibandingkan produk impor tampaknya menjadi tantangan utama bagi produk domestik. Maka, diperlukan langkah konkret lembaga berwenang dalam penegakan regulasi produk impor yang lebih ketat serta penyediaan lingkungan produksi yang efisien dengan biaya terjangkau. Misalnya, pemberian insentif atau keringanan pajak pengadaan barang.
Pengusaha garmen domestik dapat mengembangkan inovasi desain unik dan berkualitas yang sejalan dengan tren pasar, seperti sustainable fashion yang diminati pecinta thrifting. Contohnya LamaLama Indonesia, sustainable thrift shop yang melibatkan penjahit lokal dalam memproduksi fesyen berkelanjutan dari pakaian bekas. Pelaku usaha lokal juga dapat berkolaborasi dalam memasarkan produk.
Konsumen perlu memahami dampak thrifting impor terhadap perekonomian domestik dan mempertimbangkan untuk membeli produk lokal berkualitas sebagai prioritas. Tanpa meninggalkan tren, pembeli dapat mendukung penjualan barang bekas lokal atau produk daur ulang yang patuh regulasi. Bahkan, bisa diperkuat oleh dukungan media dalam persuasi publik.
Mengubah haluan pasar tentu tidak mudah. Hal ini bukan sekadar menyoal gaya, melainkan selera. Namun, diperlukan semangat juang yang tinggi untuk memberdayakan usaha lokal. Sinergi regulasi yang masif, inovasi usaha, serta kesadaran dukungan produk lokal dapat menjadi kunci ketercapaian tujuan.
Hurun'in Kamila
Karina Dwi Anjarsari