Kebermaknaan di Balik Aksi Coret-Coret yang Ternilai Vandalisme
Kebermaknaan di Balik Aksi Coret-Coret yang Ternilai Vandalisme
Sumber: detikJatim/ Aprilia Devi
SuaraBaya –– Aksi coret-coret yang dilakukan oleh penggiat seni terhadap fasilitas umum dinilai sebagai tindakan vandalisme. Anggapan serupa juga terjadi di Kota Surabaya, sebuah fenomena yang diasumsikan menjadi peristiwa merusak properti publik tanpa izin. Lalu, apakah pemaknaan aksi coret-coret tersebut faktanya hanya dibatasi pada sebuah labelisasi vandalisme?
Dilansir dari Jurnal Manajemen, Hukum, dan Sosial (JMHS), vandalisme merupakan tindakan yang dapat merusak properti atau fasilitas umum dan sering dilakukan tanpa motif jelas, kecuali untuk menimbulkan kerusakan. Adanya definisi tersebut lantas menimbulkan diskursus baru mengenai topik “motif yang jelas” dalam aksi coret-coret. Bagaimanakah kiranya status seni pada coret-coret yang sengaja dibuat bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan sebagai penyuaraan aspirasi oleh masyarakat terhadap segala peristiwa sosial?
Vandalisme dalam praktiknya cenderung dianggap merusak karya seni dan benda lain yang bernilai indah. Lalu, apakah coret-coret yang menciptakan keindahan tanpa menimbulkan kerusakan juga ternilai dalam vandalisme? Kategorisasi dalam aksi vandalisme tampaknya perlu dilakukan oleh pemerintah agar tidak terjadi konstruksi pemaknaan yang salah. Pasalnya, aksi coret-coret yang ada di Surabaya seakan dikonstruksi tanpa adanya urgensi ekspresi dari penggiat seni.
Pedoman hukum terhadap aksi coret-coret di Surabaya adalah Peraturan Daerah (PERDA) Kota Surabaya Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat Pasal 20 ayat (1). Namun, PERDA tersebut tidak secara spesifik menyebutkan coret-mencoret sebagai bentuk vandalisme yang umum terjadi sehingga menyebabkan ketidakjelasan sanksi bagi pelaku. Melalui pedoman hukum ini, apakah aksi coret-coret termasuk vandalisme kategori tindak kriminal?
Dinoz (30) selaku penggiat seni mural menyatakan bahwa ketika aksi coret-coret dilakukan tanpa terkonsep, maka aksi tersebut dapat dikategorikan sebagai vandalisme. Tulisan-tulisan abstrak dan gambar yang tidak selayaknya diperlihatkan ke publik juga dapat disebut vandalisme apabila dijadikan bahan dalam aksi coret-coret. Hal ini kiranya selaras dengan urgensi bagaimana gambar pada aksi coret-coret tersebut diproduksi dan diterima oleh masyarakat. Apakah faktanya adalah aksi coret-coret tidak memiliki tujuan positif untuk siapa pun atau sebaliknya?
Dinoz setuju aksi coret-coret menjadi sarana ekspresi diri yang dikemas dengan kebebasan menuangkan karakter. “Penggiat seni mural punya karakter masing (-masing). Ada yang memang fokus ke kritik maupun dukungan untuk pemerintah,” ujarnya.
Apakah maraknya aksi coret-coret ini sebagai ekspresi dari kurangnya pemerintah menyediakan media untuk penyampaian aspirasi? Kemana arah pemerintah dalam mengemban tugas sebagai mediator kesenjangan dan sebagainya? Apakah dengan tidak disahkannya media legal bagi penggiat seni, bahkan konseptualisasi aksi pada tindakan vandalisme adalah sebuah kelalaian tersistematis?
Polemik tersebut akan terus berjalan dengan menimbulkan diskursus-diskursus baru agar didiskusikan bersama. Perlu dilakukan komunikasi dua arah yang kiranya dapat melihat urgensi satu sama lain dalam menciptakan suasana harmonis. Melalui aksi coret-coret yang terus terjadi meski sudah paten dilarang oleh pemerintah, harusnya disadari secara utuh terkait kebermaknaan aksi bagi penggiat seni. Pemerintah tidak lantas melarang tanpa menciptakan sebuah wadah untuk solusi bersama. Aksi coret-coret ini sudah seharusnya dikaji lebih lanjut.
Membagikan kenangan, Dinoz bercerita aksi coret-coret di Surabaya pernah dianggap sebagai vandalisme. Pengalaman membawa Dinoz pada kasus Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) akan menangkap siapa pun dengan gambar apa pun yang tintanya telah digoreskan ke dinding fasilitas umum. Menurut Satpol PP, aksi coret-coret hanya gambar yang tidak jelas di jalanan, sekadar mengotori kota.
Selama menjabat sebagai walikota Surabaya, Tri Rismaharini memberikan kesempatan bagi penggiat seni untuk berekspresi. Penggiat seni yang sempat tertangkap selama kurang lebih dua kali dua puluh empat jam diberikan kesempatan menuangkan ekspresinya dengan penjagaan ketat dari Satpol PP, “Iya, karena dulu masih ada larangan sebagus apa pun muralnya itu (termasuk) mengotori. Tapi sekarang sudah beda. Selama yang digambar bagus dan terkonsep, tidak apa, asal jangan cuma coret.”
Nuri Hermawan selaku dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga melalui wawancara bersama tim reporter SuaraBaya, telah mengimbau bahwa aksi coret-coret dianggap sebagai bentuk ekspresi ketika dilakukan di ruang publik. Namun, tanpa adanya perizinan akan tetap bisa dianggap melanggar hukum. Kebebasan tidak bersifat absolut, meski dalam prinsip demokrasi setiap warga negara dijamin kebebasannya dalam menyampaikan pendapat serta berekspresi, tambahnya.
Pedoman hukum kebebasan berekspresi memang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E, tetapi Nuri Hermawan juga menambahkan, “Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum mengatur bahwa ekspresi tersebut harus memperhatikan ketertiban umum, norma, dan peraturan yang berlaku. Kebebasan berekspresi tidak berarti bebas dari tanggung jawab hukum.”
Disampaikan juga bahwa aksi coret-coret dapat dikategorikan sebagai vandalisme secara hukum dan sosiologis. Menurut Nuri Hermawan, aksi coret-coret termasuk perusakan atau pengotoran terhadap benda milik umum atau milik orang lain. Pernyataan ini diperkuat oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 406 tentang Perusakan Barang. Menurutnya, meskipun pelaku coret-coret tidak berniat untuk merusak, tapi tindakan tersebut tetap memenuhi unsur perusakan atau penggunaan tidak sah atas properti publik.
Meta Ayu
Karina Dwi Anjarsari