Polemik Ojek Online dan Ojek Pangkalan: Antara Kemajuan Teknologi atau
Justru Kemunduran Sebuah Tradisi?
Polemik Ojek Online dan Ojek Pangkalan: Antara Kemajuan Teknologi atau
Justru Kemunduran Sebuah Tradisi?
Sumber gambar: SuaraBaya/Robi
SuaraBaya— Tepat di depan pintu keluar Stasiun Gubeng Lama, berjejer bapak-bapak yang tengah menawarkan jasanya dengan menggoyang-goyangkan kunci motor. “Ojek, ojek, ojek, ayo mbak ojeknya mbak, ojek, ojek,” begitulah kiranya. Tatapan penuh harap, akan dibawanya penumpang selepas turun dari kereta. Nyatanya, semua itu sekarang sangat sulit didapat untuk para ojek pangkalan stasiun. Apakah ini titik awal dari kemunduran sebuah tradisi?
Kemajuan teknologi turut mengubah lanskap transportasi secara drastis. Ojek online hadir, membanjiri jalanan kota-kota besar di Indonesia, termasuk Surabaya. Namun, dibalik tawaran kemudahan aksesibilitas, muncul polemik baru antara kedua belah pihak. Antara kemajuan yang serba cepat dengan perjuangan mempertahankan hidup di tengah arus perubahan.
Kemajuan teknologi hadir bak gelombang besar yang menggulung tenang tatanan yang telah lama ada di pangkalan ojek. Di satu sisi, ojek online hadir membawa warna baru dalam kemudahan transportasi. Memberikan janji akan kemudahan, kecepatan, dengan harga yang bersaing. Menganyam kenyamanan baru bagi penumpang yang haus akan praktis. Namun, di sisi yang berbeda di sebuah sudut tak jauh dari pintu keluar stasiun, dalam balutan jaket lusuh, dan alas kaki yang sudah menipis terkikis oleh kejamnya aspal jalanan; pengemudi ojek pangkalan. Para pengemudi ojek pangkalan menanti penumpang dengan sabar dan setia. Waktu seolah berjalan begitu lambatnya, menyimpan bisu kisah para pengemudi ojek pangkalan yang hanya mengandalkan sepeda motor dan ketulusan hati untuk mencari nafkah.
Inovasi terbentuknya aplikasi ojek online muncul ketika Nadiem Makarim melihat adanya persentase jumlah sepeda motor yang menduduki peringkat pertama dalam kategori moda transportasi yang digunakan di Indonesia. Nadiem Makarim menjadi pelopor berdirinya ojek online, yakni Gojek, yang kemudian diikuti dengan Uber, Grab, dan lainnya.
Data Badan Pusat Statistik menyebutkan jumlah sepeda motor pada tahun 2016 mencapai jumlah 98,88 juta unit (81,5%). Diikuti mobil penumpang dengan jumlah 13,48 juta unit (11,11%), kemudian mobil barang 6,6 juta unit (5,45%), serta mobil bus dengan jumlah 2,4 juta unit (1,99%) dari total kendaraan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sebagian besar menggunakan sepeda motor sebagai alat transportasinya.
Hadirnya ojek online tak lantas membuat seluruh elemen masyarakat akan menerimanya dengan sukarela, termasuk ojek pangkalan. Ojek pangkalan merasa, hadirnya ojek online merupakan ancaman yang akan mereka hadapi ke depannya. Secara perlahan, semua pelanggan yang biasa akan diantar kemanapun melangkah dan berpindah tempat, kini terang-terangan lebih memilih untuk menggunakan jasa ojek online yang dirasa lebih menguntungkan. Hal ini turut disetujui oleh Tomy (45), seorang pengemudi ojek pangkalan di Stasiun Gubeng Lama, “Jelas terganggu, Mbak,” keluhnya, “pertama, ya, karena penumpang larinya ke ojol ya pastilah karena mereka kan ada perusahaan, sedangkan opang ga ada jaminan. Ya jelas penumpang larinya ke sana. Terus masalah harga sebetulnya sama mbak. Cuma kita kayak liar gitu lo, orang takut naik liar. Sebenernya sama, online 10 ribu, kita juga 10 ribu.” Persoalan harga menjadi pertimbangan paling utama dari sisi penumpang, “Kalau dari segi harga udah beda, si mbak (calon penumpang) pastinya kita milih ojol karena lebih murah, kalau opang kan lebih mahal,” tutur Afida (21), seorang pengguna transportasi umum.
Selain dalam konteks persoalan harga, dari sisi penumpang juga merasa bahwa keamanan diri lebih terjamin menggunakan transportasi ojek online dibanding menggunakan jasa ojek pangkalan. Penjemputan dan penurunan penumpang terlacak oleh sistem. Apabila dalam perjalanan tidak sesuai titik tujuan, aplikasi akan mendeteksi dan memberikan peringatan pada pemilik akun ojek online.
Stasiun Gubeng Lama, salah satu stasiun yang begitu ramai pengguna sebab lokasinya yang strategis dan dekat dari pusat kota, tentu menjadi titik tujuan para pelancong yang akan berkeliling di Surabaya. Transportasi umum seperti ojek lantas menjadi salah satu hal yang akan selalu dicari. Saat ini, tukang ojek yang tersedia di Stasiun Gubeng Lama merupakan ojek pangkalan dan ojek online, tetapi dengan syarat penjemputan di titik tertentu.
Jalanan yang telah menjadi ladang penghidupan untuk para tukang ojek pangkalan selama bertahun-tahun kini harus dibayangi oleh hadirnya ojek online yang datang bagai angin perubahan. Angin yang tak hanya membawa kemudahan teknologi, tetapi juga mengikis harapan dan penghasilan yang selama ini menjadi napas kehidupan mereka. Layaknya daun yang berguguran dan tersapu oleh angin, pendapatan tukang ojek pangkalan semakin terkikis, tergerus oleh tarif yang lebih murah dengan pelayanan yang terjamin dan terjadwal dari ojek online. “Mengganggu mbak, mengganggu sekali. Kan, kadang promo tuh sangat murah sekali. Kalo masalah promo dengan opang, ya, opang gamau. Promo kadang 4 ribu (atau) 5 ribu lo mbak. Kita minim kadang 8 ribu 10 ribu. Kadang ada 4 ribu. Kata penumpang lain, “Ini loh, Pak, 4 ribu,’ lha promo kok disamakan.” Dengan perasaan yang menggebu Tomy berkata bahwa sejak adanya ojek online perubahan sangat kentara dialami oleh tukang ojek pangkalan.
“Ga mencukupi mbak. Sekarang itu turun drastis pendapatan semenjak ada online. Dulu ada semacam korlapnya online ke sini. Dulu kan sering gesekan ya, namanya ga tau, ga ada peraturan, sering gesekan, (lalu) bertengkar. Akhirnya korlapnya online ke sini, ketuanya sini, dan polisi setempat. Ada suratnya sampai sekarang.” Salah satu cara yang ditempuh untuk mencapai jalan tengah di atas polemik yang menimpa keduanya yakni dengan membuat surat perjanjian yang menghadirkan perwakilan dari ojek online, ojek pangkalan, dan polsek setempat. “Iya, perjanjian ditengahi polsek setempat. Titik pengambilan itu sebenernya Hotel Syahid dan Grand City. Ada itu suratnya. Tapi dia semakin maju-maju, meluber ke sini. Ya kita mengalah saja. Wes kalah ga karu-karuan lah, kelihatan jelas lah. Orang pasti milih ojol.”
Setiap bunyi notifikasi dari ponsel orang-orang pengguna jaket hijau di sekitar lokasi pangkalan ojek, semacam dentuman yang menusuk relung jiwa para tukang ojek pangkalan. Mereka merasa kalah. Bukan oleh tangan manusia, melainkan oleh sebuah sistem yang tak berwajah, merenggut rezeki tanpa ampun. Sekalipun pepatah mengatakan rezeki sudah ada yang mengatur, tetapi kesedihan dalam diri para tukang ojek pangkalan sejak hadirnya sistem yang secara tidak sadar telah menjauhkannya dari rezeki yang setiap hari ia dambakan. Rapuh, terhempas tak berdaya, tatapan nanar ditujukan tiap kali melihat orang-orang yang baru saja keluar dari stasiun lantas berbelok ke titik penjemputan ojek online. Luka yang tak kasat mata, tetapi menganga dalam diam. Sekelebat bayangan kala menjemput penumpang, hingga melakukan kegiatan tawar-menawar kini sudah begitu jarang untuk dilakukan. Ketika setiap perjalanan merupakan cerita hidup yang berarti. Kini, mereka hanya bisa menunggu, berharap ada secercah harapan di tengah gelap yang terus menelan.
Di sisi lain, ojek online dibayangi rasa takut setiap kali akan menjemput penumpang di Stasiun Gubeng Lama, sebab tatapan yang diberikan oleh para tukang ojek pangkalan. Tak jarang, para pengemudi ojek online mendapat sanksi sebab menjemput penumpang tepat di depan pintu keluar stasiun—wilayah ojek pangkalan. “Pernah ada yang diambil helm atau jaket secara paksa. Meskipun ojolnya gatau, tetep dipaksa,” tutur salah seorang pengemudi ojek online. Meski sudah ada surat perjanjian tertulis dan bermaterai, tetapi hal itu tak lantas menjadi jalan keluar untuk kedua belah pihak. Ketidaktahuan pengemudi ojek online terkait kesepakatan itu turut menjadi bukti bahwa sosialisasi belum terlaksana dalam perusahaan pengemudi ojek online. Padahal, hal ini menjadi hal yang krusial dan seharusnya perusahaan bertanggung jawab penuh terhadap hal-hal yang berkaitan dengan sistem dan keselamatan para pekerjanya.
Permasalahan penjemputan yang tertulis dalam perjanjian turut mengganggu dalam pandangan penumpang. Tak jarang calon penumpang menggerutu hingga menyalahkan sistem yang tidak sesuai dengan titik lokasi penjemputan yang tersedia. Apabila telah terjadi hal demikian, hal pertama yang dilakukan oleh pengemudi ojek online adalah dengan membatalkannya meski mempengaruhi rating driver dan berakhir pada susahnya memperoleh pesanan kedepannya.
Kerugian yang paling tampak dari adanya batasan wilayah di stasiun sangat terasa dari sisi pengemudi ojek online, “Ya kita ga bisa cepet dapat penumpangnya, kan kadang penumpang minta cepet dijemput.” Namun, hal itu tak lantas menjadi suatu bentuk keterbatasan, “Ga ada si daripada ga boleh ambil malahan.”
Peran pemerintah dalam menangani kasus polemik batasan wilayah yang telah terjadi di beberapa titik di tempat-tempat umum seperti stasiun, sangat diperlukan. Ketegasan harus diberlakukan agar para pelanggar maupun pihak yang merasa dirugikan dapat mendapatkan konsekuensi yang sesuai, sama, dan setimpal atas hal-hal yang sebelumnya telah disepakati. Sebuah sistem yang secara keseluruhan mengatur bagaimana sebuah aplikasi bekerja turut menjadi problematika yang harus segera dicari titik temunya. Ketidaksesuaian aplikator dalam menyediakan titik jemput dengan realita di lapangan, turut menjadi sorotan dalam polemik antara ojek online dan ojek pangkalan.
Nimaswati Fatmawidya
Muhimatul Khoiriyah