Es Krim Beralkohol: Krisis Keamanan Konsumen Jadi Evaluasi Pemerintah
Es Krim Beralkohol: Krisis Keamanan Konsumen Jadi Evaluasi Pemerintah
(sumber ilustrasi es krim: https://Kitakini.news/)
SuaraBaya - Sejak meraih berbagai gelar seperti Kota Pahlawan, Kota Metropolitan, Kota Terbesar Kedua, dan segala penganugerahan, menjadikan kota ini tiada hentinya menabur benih-benih inovasi. Eksperimen buta disemayamkan secara elit; tiada lakon petinggi wilayah yang turut memandu eksplorasi, tiada bunyi alarm siaga tatkala yang berbuat bertindak bejat, juga tiada satu nyawa yang sadar ketika menyantap lahap sajian pencuci mulut pada tempat-tempat terkemuka. Seharusnya tempat mahal adalah yang dikenal tertib dan dinaungi secara khusus oleh pemerintah. Kebocoran tersebut ibarat terselipnya selembar lima ribu rupiah ke dalam tumpukan uang seratus di dalam mesin atm. Padahal sudah tampak bijak mesin itu menyusun algoritma yang tidak bisa ditentang dengan rumus-rumus alternatif apa pun.
Semua bertanya-tanya perihal “bagaimana semua ini bisa terjadi?”, “bagaimana mereka lolos seleksi?”, dan “bagaimana regulasi mati tanpa dieksekusi?”. Persoalan-persoalan yang sedari dulu hendak diperjuangkan kejelasan dan kemenangannya. Mati satu tumbuh seribu. Begitulah kira-kira filosofi kebobrokan sistem keamanan negeri. Terpampang mengedepankan ideologi, tetapi menunggu evakuasi dahulu baru memulai evaluasi. Bukannya berbenah justru selangkah lebih maju menciptakan degradasi baru.
Seperti yang baru-baru ini diberi panggung. tersebut; fenomena es krim beralkohol. Bagaimana bisa jajanan seputar susu dan perisa, ternyata berkolaborasi dengan alkohol? Resep fantastis yang mengikis kepercayaan masyarakat kepada mereka para pebisnis sekaligus mempertanyakan peran nyata para pemangku wewenang di kota tersebut. Bagaimana regulasi makanan dan kehalalan?
Komponen lain dari es krim ini menjadi satu hal mengejutkan. Tidak menjadi polemik, tetapi stigma tumbuh menjamur di atas kepercayaan yang luntur. Mereka yang mencicipi hanya ingin mencari rasa dan sensasi baru di gerai yang katanya sedang mencari nafkah. Lantas, bagaimanakah konsep pembelaan atas dasar hak bagi korban?
Anak-anak—rata-rata konsumen yang mendominasi—hanya tahu rasa manis es krim, tetapi tanpa sengaja menelan arak. Hal itu juga berlaku pada nyawa-nyawa yang telah lama terjun di dunia, bahwa mereka tentu berupaya menjaga kesehatan tubuh yang telah diberi oleh Tuhan. Seyogyanya apa yang tertelan adalah sesuatu tanpa racun, tidak menyakitkan, dan tidak berpotensi membunuh. Alkohol bukan suatu hal yang masih abu-abu, ia sudah menjadi tahanan di penjara manapun. Ia menjadi kriminal di luar pemberdayaan medis dan kosmetik. Alkohol dan kesehatan bukanlah sahabat karib, mereka musuh bebuyutan yang tidak akan bisa damai dalam satu perut yang sama. Melihat kondisi mengenaskan seperti ini menjadi tanda tanya besar pada pihak berwajib. Apakah kesehatan bukan prioritas utama dalam mengayomi rakyat?
Menunggu viral baru dibongkar, menjijikkan sekali stereotip ini. Seakan yang bertugas tidak punya kompas untuk menentukan arah kerjanya. Jalan-jalan yang ditapak bak jeruji di ladang hama. Mereka pikir rugi, rugi, dan rugi. Kemudian berteriak “Aman, Ndan!” seolah-olah sepatu yang dikenakannya telah menyentuh medan lapangan. Sejatinya huru-hara yang berlangsung tak pernah benar-benar diusut sedari awal. Menunggu giliran informasi dibeberkan tumpah ruah oleh publik, menanti penemu kasus membuat klarifikasi. Hanya laporan yang mereka tunggu. Pagi, siang, dan malam menyeduh kopi. Hitam pekat memikat lidah, menggelapkan kesadaran mereka untuk menuju cahaya. Ternyata selama ini tidak kooperatif, membuka jendela baru bagi maling menjalankan aksi pencurian. Kebobolan lagi, kebobolan lagi.
Ironisnya kebobolan tersebut tidak berawal dari kata merdeka bagi maling yang meluncurkan aksinya dengan taktik gamblang. Mereka semula menaati regulasi yang dirancang pemerintah untuk memudahkan pebisnis mendapat izin. Online Single Submission (OSS) namanya, sebuah perizinan elektronik yang katanya dikelola langsung oleh pemerintah. Sesuatu yang janggal telah terjadi tanpa mendeskripsikan nilai-nilai kelulusan es krim beralkohol itu. Dikelola pemerintah atau “dikelola pemerintah?”
Pemerintah bukanlah barisan rakyat yang terjerat alam jahiliyah di peradaban menuju keemasan. Mereka menjadi petinggi yang terverifikasi paham logika dan berstandar ideologi bangsa. Entah bagaimana kebenarannya, tapi nyatanya pada beberapa kesempatan, mereka memilih nasib ingkar. Menyatakan bahwa OSS adalah perizinan terpercaya, justru ditemukan kecolongan yang menelan banyak korban. Membuktikan bahwa mereka lalai mengadopsi bayi-bayi yang ingin meminum asi dari payudara seorang bapak. Bahwa tidak ada lapisan pelindung dan penelusuran intensif, apalagi hasil yang benar-benar menunjukkan inilah faktanya.
Digitalisasi seakan dijadikan tuntutan dan tuntunan untuk mengejar yang tertinggal, sehingga mencoba memaksa modifikasi pengawasan yang katanya lebih praktis, efisien, dan terverifikasi secara cepat. Nyatanya, jam terbang mereka yang bertugas masih bermasalah. Memilih menaiki pesawat di saat hujan lebat adalah kecerobohan yang tidak bisa diselamatkan selain dengan turun dan berteduh. Padahal bandara masih dalam proses renovasi, lantas untuk apa mendarat di tempat yang belum tepat?
Namun, pesawat pernah selamat mendarat di sebagian besar lahan belukar. Berarti tidak harus di bandara. Tetapi ini tidak serta merta karena keberuntungan memihaknya. Pilot dan awak kapal yang benar-benar kompeten telah berhasil menyelamatkan nyawa penumpang. Lihai bukan lalai. Mencoba merefleksikan hal tersebut di dunia nyata, maka pemerintah dengan tanggung jawab, ketetapan, dan ketepatan yang baik dapat membasmi kerugian-kerugian masyarakat, sehingga tidak akan terulang kembali tragedi kebobolan sistem yang menggugurkan benteng-benteng keamanan perlindungan masyarakat.
Verani Rayya Widyastuti
Muhimatul Khoiriyah