Cumi-Cumi Darat dan Jejak Hitam di Jalan Raya
Cumi-Cumi Darat dan Jejak Hitam di Jalan Raya
ilustrasi cumi-cumi darat (gambar: otosia.com)
Suarabaya - Di balik gemerlap kota yang tidak pernah benar-benar lelap, di sepanjang lajur yang tersorot lampu jalanan nan menua dalam cahaya kekuningan, terdengarlah raungan. Makhluk apa? Dari mana? Sebab apa? Tidak, ia bukan suara alam, bukan pula sesuatu yang tercipta dengan jiwa, kecuali pengendalinya. Ialah suara “ledakan” tabung logam yang menyerbu ketenangan bagaikan dentuman perang. Ialah pembawa tanda dari kejauhan bahwa udara tanpa warna akan bersulih hitam dalam sekejap mata.
Di antara debur langkah manusia yang kian lambat dan angka-angka digital nan berganti setiap enam puluh detik, berulang, melaju si kaki empat dalam ragam warna, ukuran, dan gayanya. Cumi-cumi darat. Begitulah sebutan yang tersemat pada mereka. Apakah mereka tak ubahnya makhluk Tuhan pemilik nama itu di lautan sana? Sayangnya, mereka lebih tampak sebagai makhluk asing yang tersesat di darat, menabrak sunyi, mengobrak-abrik setiap angin yang terembus. Surabaya, Bandung, Jakarta, dan entah ke mana lagi mereka melanglang buana. Nyatanya, bukan hanya malam yang harus menjadi saksinya. Entah kala fajar tiba, mentari di atas kepala, ataukah langit menyiapkan latar merah saga, suka-suka manusia, wira-wiri jua.
Cumi-cumi darat tidak berenang sendiri mencapai bumi pertiwi. Ia bersuka ria diadopsi pecinta modifikasi. Berangkat dari Negeri Paman Sam, disambut, ditimang-timang di Negeri Seribu Candi—akankah menjadi Negeri Ramai Polusi? Ironi, tersandang sebagai salah satu paru-paru dunia, justru melanggengkan tren anti lingkungan yang giat dipamerkan pula ke kawasan-kawasan milik negara.
Cumi-cumi darat bukan sekadar solek-menyolek tunggangan. Ia adalah sebuah kebanggaan (atau keangkuhan?), selebrasi kebebasan (atau ekspresi keakuan?), pernyataan identitas (atau melampaui batas?), juga realisasi seni pada piranti masa kini, katanya. Sadarkah manusia, di antara gegap gempita dan bungah yang dirasa, ada urun luka untuk bumi yang tersisa?
Adakah ruang bagi mereka untuk sekadar rehat dari riuh dunia? Ketika knalpot-knalpot itu melenggang ke tiap-tiap sudut kota, saban bangunan terasa kehilangan esensinya sebagai tempat pulang. Kebisingan mendobrak seluruh kalangan. Ia menebar gelisah tanpa aturan: pada bayi yang merengek di pelukan ibunya, pada lansia yang membolak-balikkan tubuhnya, pada pelajar juga pekerja yang terampas fokusnya.
Gairah tampil beda lewat cumi-cumi darat mengesampingkan cacat yang jelas terlihat. Diesel-diesel mendukung deru kian giat, knalpot-knalpot menemukan sistem barunya. Namun, ia memuntahkan karbon nan lebih padat. Ruang udara kota yang telah sesak oleh kepul industri dan pundi-pundi polusi lain beralamat, kini harus menampung racun yang terus menyeruduk kuat. Di sepanjang jalur pancaran gas buang menyapa, paru-paru mengenalinya. Ialah penyumbang gas rumah kaca, karbon monoksida, nitrogen oksida—senyawa yang tiada hentinya mengancam kualitas hidup bersama. Diam-diam merasuk, lama bertempat, dan perlahan mencuri napas sehat.
Dalam dekap lautan menghampar, cumi-cumi menari bagai menyambut mimpi. Sekejap musuh mengintai, mata kelap menyergap, barulah meledak tinta hitam dari tubuhnya. Awan kelam membuih, menyelimuti pandang tajam nan mengancam. Lantas, bagaimana dengan cumi-cumi darat? Bukan menyerang sebab terancam, justru hadirnya ialah ancaman. Tak pandang bulu, siapa saja melintas, gulungan asap hitam siap melibas. Menyerbu indra-indra yang terpaksa melalui jejaknya. Mengerahkan truf racun yang siap menyambut fungsi-fungsi hayati.
Sungguh malang nasib tubuh tanah yang luka. Nadi kota, penopang mereka yang pergi, mereka yang pulang, menyambungkan yang jauh, menyaksikan kehidupan urban berdinamika. Sudah rela ditindih aspal, harus pula mendapat pun terus menanti kerusakan-kerusakan dilimpahkan padanya. Penuh gaya, jalan raya bak panggung sandiwara. Mobil-mobil bertitel cumi-cumi darat meluncur. Ia bukan sekadar pentas penggema telinga plus pengusir bersihnya udara, tetapi penggenap cela-cela ringkih jalanan pula.
Komponen-komponen mesin yang tersulap sedemikian rupa memang tampak memesona, setidaknya bagi mereka. Namun, piranti itu tidaklah mampu merampungkan pembakaran dengan sempurna. Saat apa-apa melintas tidak sesuai cara semestinya, bukan hanya mesin yang menjemput kerusakannya sejak belia, logam dan karet-karet yang tercecer pun kian menambah beban polusi seturut zona. Lantas, siapa yang bertanggung jawab pada perjalanan yang terhambat? Siapa pula yang membenahi jalan-jalan yang berangsur cacat? Bukan pemilik cumi-cumi darat, melainkan pajak rakyat.
Tampak gahar, memang. Tagar-tagar yang tersemat, gambar-gambar yang terlihat, juga siaran yang terangkat melalui layar-layar benda padat bertebar bagaikan seruan untuk meniru apa yang mereka perbuat. Dari bengkel-bengkel modifikasi, lahir mimpi-mimpi, tidak berdiri sendiri, tetapi bersama limbah yang menyertai.
Saat seisi bumi mesti berbagi takaran konsumsi sumber energi, mereka yang memilih tren cumi-cumi darat sebagai kesenangan diri mungkin lupa akan hal ini. Utak-atik wewenang saluran pengatur gas buang hingga mencopot satuan sistem yang mengatur minimalisasi perampasan hak pada lingkungan, ringan saja dilakukan. Sebuah upaya menggenjot performa, berdampak pada pelimpahan silinder mesin melebihi daya takarnya. Pembakaran tidak sempurna, memangsa sumber energi tidak kira-kira. Berorientasi pada hasil, berlagak tak andil atas jumlah bahan bakar fosil yang kian mengecil.
Kala mesin menyala, setiap pedal merelakan hentakan tubuhnya, cerita tidak terhenti pada pengembaraan ruang dan masa. Ada tikas yang tertinggal, titian jejak-jejak kecil pada bentangan bumi yang besar. Cumi darat mungkin tampak megah di bawah sorot lampu kota, memikat mata, menyambar kilap kamera, tetapi bumi tidak terlibat dalam euforia. Ia hanya merasakan racun-racun yang tertanam, air-air yang mengalir dalam pekat, serangan polusi udara yang kian meningkat, dan seluruh tanggungan kerusakan yang manusia buat.
Kreativitas layak melaju patas, tetapi moralitas tetap menjadi batas. Pada tiap-tiap sisi, ada keadilan yang menjadi harapan. Sebelum emisi melesat tanpa kendali, kepada yang bijak berpinta manifestasi regulasi. Bukan menghalangi kreasi, tetapi menjaga hak bumi untuk lestari. Keajekan uji emisi terintegrasi pun amanat ihwal batas kebisingan manusiawi yang kekar dan tertakar masih menjadi akar yang menanti untuk tumbuh menjalar, menebar semerbak kabar bak wangi sekar yang tengah mekar.
Setidaknya, asa tidak sepenuhnya sirna. Di tengah terjangan arus gila cumi-cumi darat, masih ada mereka yang membuka mata, salah satunya Ahmad, pecinta otomotif dari Batu, “Ya intinya, tren diesel di Indo, khususnya di Surabaya, sebenernya tu kayak wajah baru kultur modifikasi,” ujarnya, “ya cuma, side effect-nya ngaruh ke polusi udara juga soalnya banyak yang langsung FOMO buat ikut jadiin mobilnya cumi-cumi darat.”
Tanpa elak, Ahmad menyatakan turut terpukau dengan tren cumi-cumi darat. Namun, menuang kesadaran akan ancaman yang mengintai dalam angka gelas takar yang tinggi jauh lebih penting dibanding hanya menabur serbuk demi serbuk rayuan gaya mutakhir yang tak berpihak pada kebersihan dan kesehatan lingkungan itu.
Saatnya mengambil keputusan. Untuk jalan panjang yang dilalui bersama, untuk bumi yang semakin tua, sisakan ruang teduh nurani dalam setiap laju. Sebab di balik kebahagiaan semu, ada generasi yang akan menunggu.
Kita ingin maju, tetapi arah mana yang kita tuju?
Hurun'in Kamila
Karina Dwi Anjarsari